Feeds:
Posts
Comments

Made In Indonesia

Sebuah email pernah mampir ke salah satu milis yang saya ikuti. Isinya tentang kisah perilaku berbelanja dua orang berbeda bangsa. Yang seorang adalah profesor berkebangsaan Jepang, satunya adalah seorang mahasiswa asal Indonesia. Suatu kali, sang profesor berkunjung ke Indonesia dan berjalan-jalan ke toko. Tiap kali mengunjungi toko, yang dicarinya adalah barang berlabel Made in Japan. Saat ditanya alasannya, jawabannya adalah karena dia bangga dengan produk buatan negaranya. Sang mahasiswa punya kebiasaan berbeda. Dia malah enggan membeli barang berlabel Made In Indonesia.

 

Banyak orang yang bersikap sama dengan si mahasiswa. Tiap kali punya kesempatan berbelanja di luar negeri, yang dicari bukanlah barang dengan tulisan Made In Indonesia. Untuk apa jauh-jauh belanja ke luar negeri bila yang dibeli adalah barang buatan negeri sendiri? Bukankah lebih mudah membeli barang Made in Indonesia di Indonesia? Seringkali pikiran itu yang hinggap saat berbelanja. Padahal, belum tentu barang yang dijual di negeri orang itu jelek kualitasnya. Malah boleh jadi, kualitasnya sangat baik. Buktinya bisa dijual dan dipajang di toko-toko di luar negeri. Belum tentu juga, barang berlabel Made In Indonesia yang dijual di luar negeri itu dijual di negeri sendiri.  Siapa tahu, proses pembuatan di Indonesia, tapi seluruhnya diekspor.

  Continue Reading »

Beberapa Detik

Saya mengayuh sepeda lebih cepat. Berusaha untuk tidak terjebak lampu merah di perempatan Yoneichimaru. Masih di Matsushima Intersection, dan rasanya lampu merah yang saya hadapi lebih lama dari biasanya. Beberapa minggu lalu, Hanada sensei mengatakan dengan tegas untuk tidak terlambat memasuki kelasnya. Itu dikatakannya saat teman dari Bangladesh dan Korea datang terlambat. Tapi hari itu, proses memasak yang saya kerjakan ternyata makan waktu lebih lama.

Continue Reading »

50 yen

Sabtu pagi, terburu-buru belanja ke satu toko obat dekat rumah. Niatnya, membeli diapers untuk anak kedua. Di depan toko, biasa dipajang barang-barang yang didiskon. Saat datang, ada paket tisu (isi 5 pak) berharga 198 yen. Lumayan, murah, begitu yang ada dalam pikiran. Ambil 1. Masuk ke dalam dan segera mengambil diapers ukuran L. Langsung bayar di kasir dan cepat keluar toko.

Di parkiran sepeda, penasaran melihat resi pembayaran. Rasanya kok ada yang salah ya? Ups… bagian tisu tertulis 248 yen. Eeehh? Kok? Balik lagi tidak ya? Menanyakan kesalahan ini. Tapi bagaimana cara ngomongnya? Apa bahasa jepangnya “Maaf, harga tisunya kok 248 ya? Di depan tertulis 198” ? Mmm…. Cepatlah, harus buru-buru pergi ke TPA. Balik lagi atau tidak?

Continue Reading »

Nabisan, Terima Kasih

Kakak ipar saya pernah bertanya soal intensitas saya memasak. Beliau ingin tahu, apakah saya memasak setiap hari. Saya jawab, iya. Dekat rumah tak ada warung penjual makanan (yang halal). Mengingat-ingat kehidupan selama di Jepang, hampir setiap hari saya memasak. Meski pun sekedar telur dadar.

 

Jadi ingat kebiasaan di Bogor. Seorang teman masa kuliah membuka warung makanan dekat kampus. Dengan dalih silaturahmi, saya berkunjung ke tempatnya hampir setiap minggu. Niat yang lebih kental dari kunjungan itu sebetulnya adalah membeli makanan di warungnya. Banyak ragam makanan yang bisa dibeli dengan harga mahasiswa. Lumayan juga. Karena anggota keluarga kami sedikit, memasak dan membeli jadi tidak terlalu jauh perbedaannya dari sisi ekonomi.

 

Tinggal di Jepang, membeli makanan menjadi sebuah kemewahan. Ada 2 warung udon yang beberapa menunya bisa dimakan. Karena lokasinya jauh, sejak lama makan di kedua warung itu hanya jadi mimpi yang belum tercapai. Satu penjual makanan yang kemudian menjadi favorit adalah Nabisan, orang Mesir beristrikan orang Jepang

  Continue Reading »

Loyang Segi Empat

Setiap bulan ada pengajian muslimah di lingkungan tempat tinggal saya. Petugas masaknya bergiliran. Suatu kali, saya mendapat tugas membuat kudapan. Saya jarang mendapat tugas memasak seperti ini. Sebelumnya, saya pernah diamanahi untuk membuat pudding dan bakwan jagung. Keduanya menu yang relatif mudah. Peralatan memasak yang digunakan juga sedikit. Beda dengan tugas kali ini.

 

Berdasarkan pengalaman, pembuat kudapan bertugas memasak tiga jenis makanan kecil. Karena jumlahnya banyak (25 hingga 30 buah setiap jenis), saya berniat membuat kue yang mudah dan dapat dimasak malam harinya. Saya tak terlalu pandai membuat kue. Ini juga menjadi pertimbangan.

  Continue Reading »

Maizuru Koen

Tempat favorit untuk hanami di Fukuoka. Posisinya dekat dengan Ohori koen. Banyak yang berpendapat kalau keduanya adalah sama. Tapi untuk hanami, sakura di Maizuru lebih bagus.

 

Continue Reading »

Warga di wilayah timur Fukuoka mendapat kesempatan istimewa berbelanja telur di akhir pekan. Dua supermarket memilih Sabtu dan Ahad sebagai hari untuk menjual telur murah. Haloday, menjual telur yang di hari biasa seharga 198 yen menjadi 100 yen di hari Sabtu. Sementara Marukyo, menjual telur seharga 178 yen di hari biasa menjadi 98 yen di hari Ahad.

Continue Reading »

Picky Eater

Senin lalu, ada yang menawarkan produk susu ke rumah. Saya yang tak bisa berbahasa Jepang, hanya menerima contoh produk yang ditawarkan dengan senyum. Penjualnya kemudian menjelaskan panjang lebar soal keunggulan produk – dalam bahasa Jepang tentu saja. Tak ada sedikit pun kata yang saya mengerti.

Saat sang penjual menjelaskan, saya lebih tertarik membaca komposisi penyusun bahan makanannya. Saya agak jarang membaca deretan kanji bagian bahan-bahan penyusun ini. Biasanya membeli produk yang sudah biasa dibeli. Yang sering meneliti satu per satu bahan penyusun adalah suami.

Continue Reading »

Mengapa Lebah

Lebah hanya makan yang bersih, mengeluarkan sesuatu yang bersih, hinggap di tempat yang bersih dan tidak merusak atau mematahkan yang dihinggapinya.

Lebah akan mendatangi bunga-bunga atau buah-buahan dan tempat lainnya yang mengandung madu atau nectar. Ia menghasilkan madu yang punya banyak manfaat untuk kehidupan manusia.

Continue Reading »